Aku seharusnya tahu tentang hal itu.
Jadi aku tidak akan merasakan kesakitan seperti ini.
Kakakku bilang, Cinta itu sangat indah. Kita tidak akan menemukan hal yang lebih indah daripada cinta. Cinta sejati. Itulah yang sering diungkapkan oleh Kakakku. Cinta sejati akan membawa kita pada ikatan pernikahan. Ya, itulah ungkapan cinta yang sering aku dengar.
~oOo~
Hari ini, dia membuatku tertawa lagi karena ulahnya yang sangat konyol. Saat kami sedang berada di kantin, dia mendekatiku dengan sebuah gitar di tangannya. Petikan-petikan senar yang terdengar sangat lembut, mengalun indah di sekitar meja tempat aku berkumpul bersama teman-teman. Ketika nadanya sudah pas, dia mulai melantunkan sebuah lagu cinta. Suaranya sangat merdu dan tenang. Semua hingar bingar yang berada di kantin, mendadak terpukau oleh aksinya. Mereka bahkan bertepuk tangan seirama dengan nada yang sedang dilantunkan. Beberapa anak mulai iseng dan melempar kepingan uang logam ke arahnya.
Jreng…..
Lagu yang sangat manis itu, akhirnya selesai dilantunkan. Tepuk tangan dari penghuni kantin, mengisi tiap sudut ruangan yang terasa sangat pengap.
“Irfan! Kamu apa-apaan sih. Malu tahu dilihatin sama anak-anak yang lain.” kataku ketika Irfan sudah berhenti melakukan aksinya sebagai pengamen dadakan. Tapi sepertinya dia sangat percaya diri dengan aksinya dan tidak menghiraukan sindiranku.
“Haha…kamu ini gimana sih, nggak bisa ya…berkata sedikit lebih manis? Padahal aku udah susah payah untuk ngebawain lagu itu buat kamu.” Irfan meletakan gitarnya di atas meja dan menatapku sambil menopang dagu.
Tingkahnya makin membuatku risih. Apalagi belakangan ini beredar gossip tentang kedekatanku dengan Irfan. Teman sekelasku, selalu menganggap Irfan sebagai ‘Cowokku’. Ya Tuhan….aku selalu mati-matian untuk mengelak hal itu. Hubunganku dengan Irfan hanya sebatas teman. Kami menjadi akrab hanya karena sebuah kejadian sepele. Untungnya, Irfan tidak sekelas denganku. Jadi dia tidak tahu hal apa saja yang sering diperbincangkan oleh teman-temanku tentang dirinya.
~oOo~
Seandainya hati punya alarm,
Aku akan memasang tanda ALERT setiap kali cinta singgah di dekatku.
Setidaknya aku bisa mempersiapkan diri untuk menghadapi kemungkinan buruk yang akan terjadi.
Pagi itu, aku datang lebih awal karena ada PR matematika yang belum aku selesaikan seluruhnya. Pemandangan yang sangat tidak biasa, tertangkap oleh sudut mataku. Irfan sedang duduk di bangku taman sekolah dan dia…tidak sendirian. Walaupun dari jauh, aku bisa melihat dengan jelas orang yang sedang bersama Irfan. Wina ada di sampingnya dan mereka sedang tertawa mesra.
Aku merasakan hatiku berdenyut-denyut. Bahkan semakin lama, denyut itu terasa semakin menyakitkan. Langkah kakiku terasa goyah saat berjalan menuju kelas, melewati mereka yang masih asyik dengan senda-gurau di kejauhan. Meskipun aku tidak tahu apa yang mereka tertawakan, tapi hatiku membisikkan ketidak-sukaan yang teramat jelas. Aku tidak suka melihat kedekatan mereka!
~oOo~
Bayangan itu semakin sulit untuk aku raih. Dia bahkan terlihat palsu di hadapanku!
Inikah sosok bayangan yang sesungguhnya?
Berusaha menjadikan dirinya NYATA dan membuat diriku menjadi BAYANGAN.
Hubunganku dengan Irfan menjadi semakin renggang. Aku tidak tahu sejak kapan kami tidak saling bertegur sapa jika berpapasan di tengah jalan. Setidaknya, aku masih memaksakan seulas senyum padanya. Irfan pun begitu, dia hanya melambaikan tangan untuk membalas senyumanku. Selain dari itu, kami jarang melontarkan sapaan lain.
Suatu hari, aku marah-marah pada Irfan. Menuduhnya mengabaikanku dan lebih memilih bersama teman-temannya. Padahal saat itu aku benar-benar butuh bantuannya, tapi dia tetap memilih untuk latihan bersama tim basketnya. Aku memang tidak memberitahunya kalau aku sedang tidak enak badan. Kepalaku terlalu pusing untuk memberi penjelasan lebih banyak. Ketika aku meminta Irfan untuk mengantarku pulang, dia menolak permintaanku. Memang sih….dia menolak dengan cara yang sangat halus, tapi emosiku langsung meninggi dan mengeluarkan rentetan kata yang sangat tidak enak didengar. Saat sadar aku telah memarahi Irfan, mulutku langsung terbungkam kaku. Apa hakku memarahi Irfan? Hubungan kami hanya berstatus teman. Akhirnya aku pulang sendirian dengan kondisi badan yang sangat lemah. Keesokannya aku tidak masuk sekolah karena sakitku semakin parah. Malahan aku terpaksa dirawat di rumah sakit. Ketika Irfan datang menjengukku bersama Wina dan teman-teman yang lain, aku pura-pura tidur dan tidak menghiraukan kedatangan mereka. Aku benci karena dia mulai mengabaikanku!
~oOo~
Aku mulai merasakan kehadiran cinta di hatiku. Tapi cinta berteman dengan Benci.
Setiap kali cinta menyulutkan amarah, Benci dengan senang hati menyebarkan amarah itu.
Sebulan yang lalu, Irfan pernah menghampiriku hanya untuk memberitahu bahwa dia akan sibuk dengan persiapan pertandingan basket antar sekolah. Aku jelas tidak begitu peduli dengan penjelasannya. Selama ini dia memang sudah mulai menjauhiku. Aku yakin, itu hanya alasannya saja. Bagaimana tidak? Belakangan ini aku sering atau malahan selalu melihat Wina bersama dengan Irfan. Kecurigaanku selama ini pada mereka, ternyata terbukti benar. Wina teman sekelas, sekaligus teman sebangkuku, dia dengan santainya sering mengobrol dengan Irfan. Meskipun hatiku mulai menganggap Wina sebagai pengkhianat, tapi sikapku padanya masih sangat normal. Aku bahkan tidak pernah menyinggung sedikitpun, kalau aku sering memergoki Wina sedang bersama Irfan.
Rasanya, aku ini orang munafik ya? Mengatakan tidak peduli, walaupun sebenarnya peduli? Salah! Aku bukan peduli, tapi aku risih mendengar sindirian teman-temanku yang mengatakan aku telah dicampakan oleh Irfan!
~oOo~
Jangan paksa aku untuk membencinya.
Jangan paksa aku untuk memanggilnya MUSUH.
“Putri, loe ngapain sendirian di sini?” Lira menghampiriku yang berada di perpustakaan. Seorang diri dan sebenarnya tidak berniat untuk membaca buku.
“Nggak apa-apa! Lagi pengen sendirian aja.” jawabku seadanya.
“Hemm, kayaknya ada lagi yang ngambek nih.” Lira duduk di depanku dan memperhatikan gerak-gerikku. “Gue tahu…loe pasti kesel karena Wina dan Irfan dipilih mewakili murid kelas X untuk pidato di acara perpisahan kakak kelas. Iya kan?”
“Nggak penting banget ya, ngurusin mereka berdua.” sahutku dengan nada sinis.
Lira tertawa mendengar perkataanku. Aku kesal melihat sikap teman-temanku yang menyimpulkan bahwa aku dicampakan oleh Irfan karena adanya orang ketiga. Dan orang ketiga yang menjadi selingkuhan Ifran, tidak jauh dan tidak mengejutkan bagiku. Wina, teman sebangku yang kini mulai jarang berbicara padaku. Sekarang dia hanya berkata seperlunya saja. Untungnya, kami tidak akan lama lagi menjadi teman sebangku. Sebulan lagi kami akan naik ke kelas XI dan aku berharap tidak pernah lagi sekelas dengan anak yang bernama Wina!
~oOo~
Aku menyusun kotak-kotak kecil yang ada di hatiku. Dulu kotak itu selalu tersusun rapi, sekarang malah sebaliknya. Kotak-kotak kecil itu terhampar berantakan. Seseorang telah mengambil kotak itu, satu persatu. Tidak lama lagi…susunan kotak itu akan hilang. Apakah hatiku akan terasa hampa?
“Kak, gimana rasanya putus hubungan sama orang yang udah deket banget sama kita?” Aku mengajukan pertanyaan ‘Seandainya’ pada Kakakku yang sedang sibuk dengan tugas skripsinya.
“Maksud kamu, putus pacar?” Kakakku berpaling dari laptopnya dan menatapku yang sedang tiduran di tempat tidurnya.
“Bukan Kak….pokoknya orang itu…udah deket banget sama kita. Tapi bukan pacar…” Aku berusaha untuk memperjelas pertanyaanku.
“Putri. Bagi orang dewasa, hubungan dekat itu seharusnya mempunyai arti lebih. Kita tidak bisa menganggap hubungan yang sangat dekat, tapi tidak memiliki ikatan apapun. Pernah dengar istilah HTS? Hubungan Tanpa Status?”
Aku mengangguk karena pernah mendengar istilah HTS. Tapi aku masih belum paham dengan penjelasan Kakakku.
“Nah, kalau kamu sudah tahu artinya HTS. Seharusnya kamu sudah bisa menangkap kesimpulan. Dua orang dewasa yang menjalin hubungan sangat dekat, tapi tidak memiliki status apapun. Apakah itu tidak terdengar aneh? Siapa memanfaatkan siapa, atau siapa yang tidak berharap-harap cemas dengan nasib kelanjutan hubungan itu. Putri bisa pahamkan? Orang itu seharusnya memperjelas status hubungannya denganmu. Kalau kalian memang saling suka, pacaranlah. Kalau hanya sekedar teman baik, pastikan lagi status itu. Jika salah satu diantara kalian ada yang jatuh cinta sama orang lain, salah satu dari kalian pasti akan sakit hatinya. Jadi, Kakak harap Irfan berani mengungkapkan perasaannya sama kamu.”
“HAH? Kakak apa-apaan sih! Kok jadi ngomongin dia. Putri kan cuma berbicara ‘Seandainya’. Bukan lagi ngomongin Putri, apalagi Irfan! Udahan deh, Putri pusing dengernya. Mendingan tidur aja.” Aku keluar dari kamar dengan muka cemberut. Kakakku malah tertawa keras-keras karena melihat ekspresi di wajahku. Semoga aja dia tidak menyadari wajahku yang terlihat kikuk ketika mendengar nama Irfan disebut.
~oOo~
Apa sih yang salah? Hatiku atau pikiranku?
Kenapa dua hal itu tidak bisa bekerja sama?
“Putri, loe tahu nggak? Katanya…Irfan lagi bikin lagu baru. Dan kalau gue nggak salah denger…lagu itu terinspirasi dari seorang cewek yang udah sejak lama disukai Irfan. Tapi sayangnya….sampai sekarang, cewek itu nggak pernah membalas perasaannya. Menyedihkan banget ya?” Ferry teman sekelasku yang lumayan dekat dengan Ifran, belakangan ini sering menggangguku dengan cerita yang berkaitan dengan Irfan. Awalnya aku pikir wajar, karena mereka berada dalam satu tim basket sekolah. Tapi lama kelamaan, aku merasa risih dengan setiap ceritanya yang selalu berhubungan dengan Irfan.
“Bodo amat.” tukasku tidak peduli.
“Sadisss….! Masa loe benar-benar nggak mau tahu? Siapa gadis yang udah mencuri hati Pangeran Irfan?” pertanyaan Ferry makin terdengar sangat konyol.
“Nggak peduli dan nggak mau tahu!” bantahku sambil menjauhkan diri dari Ferry. Tidak perlu aku jawab pertanyaan Ferry. Semua orang di Sekolah ini, pasti sudah tahu jawabannya. Wina, pasti Wina yang sudah sejak lama disukai Irfan. Dia mendekatiku karena ingin berkenalan dengan Wina. Dan setelah mereka saling kenal. Aku…dicampakkan. Sial! Kenapa kata itu terlalu menusuk hatiku?!
~oOo~
Ada yang bilang, ikutilah kata hatimu.
Tapi bagaimana jika hatimu mengatakan banyak hal? Mana yang harus kamu pilih?
Kamu semakin tidak tahu jawabannya. Hingga akhirnya jawaban itu yang memilihmu.
“Putri, besok kamu datang ya? Ke acara perpisahan Kakak kelas. Soalnya ada yang…..”
“Nggak penting ya aku datang atau enggak. Lagipula aku bukan pengisi acara, wajarlah kalau nggak datang.” Aku memotong ucapan Irfan yang menghampiriku saat jam pulang sekolah.
“Putri, Please. Kamu berhenti bersikap sinis sama aku. Kalau ada hal yang salah atau yang nggak kamu sukai dari aku, kasih tahu aja. Aku akan coba untuk memperbaikinya. Tapi jangan menjauhiku kayak gini, karena..…”
“Aku nggak berusaha menjauh! Justru kamu yang selama ini makin sibuk dengan dia.” Aku tidak hanya memotong ucapan Irfan, tapi aku juga membentaknya.
“Dia? Maksud kamu apa sih? Siapa yang kamu maksud Dia….?” Irfan terlihat kelimpungan ketika aku melontarkan kata Dia. Itu pasti skak mat baginya.
Aku tidak menjawab lagi. Pandangan mataku mulai tidak jernih. Sial! Kenapa mataku tiba-tiba berair! Aku buru-buru menjauh dari Irfan. Ketika sudah berada pada jarak yang aman, aku menyeka airmata yang sudah menetes. Apalagi yang terjadi dengan hatiku? Kenapa aku merasa sedih? Bukannya aku sangat membenci Irfan? Kenapa hatiku makin kacau?! Apa yang harus aku lakukan……………?
~oOo~
Cinta memang membingungkan!
Sudah aku lipat serapat mungkin, aku remas dengan paksa, aku lempar sejauh-jauhnya.
Tapi dia tetap bisa kembali ke tempat asalnya.
Hatiku…
Tadi pagi Wina menelpon ke rumahku, karena handphoneku tidak aktif. Aku pikir aneh sekali dia menghubungiku sepagi itu. Aku masih mengantuk ketika berbicara dengan Wina di telepon. Selain perkataan basa-basi yang tidak aku ingat sama sekali, ada satu kalimat yang membuatku tercengang. Wina meminta maaf padaku. Dia bilang, selama ini tidak bermaksud berbuat jahat padaku. Dia hanya membantu seorang teman yang sedang pusing dengan masalahnya. Beberapa waktu lalu Wina tidak mengerti, kenapa sikapku menjadi tidak ramah lagi padanya. Tapi setelah dia menyadari hal itu, dia merasa bersalah padaku. Jujur, tadi pagi aku tidak mengerti dengan maksud perkataannya. Tapi sebenarnya aku juga masih belum mengerti hingga sekarang! Meskipun aku belum kembali menganggap Wina sebagai teman dekatku, namun aku menuruti permintaannya yang memohon agar aku datang ke acara perpisahan kakak kelas.
Sekarang, aku berada di aula sekolah dan duduk di bangku yang disediakan untuk para pengisi acara. Ini bukan kemauanku, tapi Wina yang memaksaku untuk duduk di sini. Aku bahkan tidak ikut andil dalam persiapan acara ini. Sekarang aku terjebak dengan dilema untuk pindah dari sini atau tidak bergerak sama sekali. Aku menyesal telah menuruti perkataan Wina. Seharusnya aku mengingat tentang apa yang dikatakan oleh Lira. Wina dan Irfan terpilih mewakili kelas X untuk menyampaikan pidato perpisahan. Wina pasti sengaja menyuruhku datang. Dia pasti ingin memamerkan moment itu padaku! Dia jahat sekali!
Aku hampir beranjak dari tempatku duduk. Sesaat kemudian, MC menyerukan nama Wina dan Irfan. Sial! Ini pasti giliran mereka. Terlambat bagiku untuk menjauh. Jika aku berdiri sekarang, akan terlihat sangat mencolok karena bangku yang aku duduki persis berada deretan paling depan dan dekat dengan Para Guru. Aku menengok ke bangku deretan belakang yang dipenuhi oleh Orangtua murid dan Kakak kelas yang sudah dinyatakan lulus SMU. Lebih baik diam saja dan tunggu sampai mereka selesai menyampaikan pidato. Tidak lama kemudian, pidato itu akhirnya selesai. Aku bernafas lega. Wina dan Irfan turun dari podium. Mereka terlihat…serasi. Hatiku terasa nyeri melihat kebersamaan mereka.
~oOo~
Akui saja! Itu cinta!
Walaupun terkadang membuat hatimu berdenyut-denyut.
Aku sudah berdiri dan hampir berlari. Tapi seseorang menyerukan namaku dengan sangat jelas. Aku bingung, namun segera menyadari asal suara itu berasal dari pengeras suara yang berada di atas panggung.
“Putri. Kamu dengar aku?” Irfan berkata dari tengah panggung.
Sejak kapan dia ada di situ? Bukannya tadi dia sudah turun bersama Wina? Dan....astaga! Kapan gitar itu ada di tangannya? Otakku mulai pusing dengan kejadian yang tidak aku sadari kapan terjadinya.
“Putri. Aku minta maaf. Sikapku selama ini, ternyata malah membuatmu membenciku. Tapi asal kamu tahu aja, aku nggak pernah mengabaikanmu. Jika Dia yang kamu maksud adalah teman sebangkumu. Maafkan aku, sungguh. Aku hanya ingin meminta bantuannya agar aku bisa mengenalmu lebih dekat. Kami nggak ada hubungan apa-apa, kecuali teman baik. Jadi, di hadapan semua penghuni sekolah….aku mau menyatakan perasaanku padamu, lewat lagu yang akan aku bawakan. Judulnya My Princess……”
Irfan mulai melantunkan lagu itu! Aku terpaku karena menjadi pusat perhatian teman-teman sekolah, guru, bahkan para orang tua murid. Oh my God, it’s kind of teen drama!
My Princess
Your eyes, already lock my heart.
Your smiles, always shinning my days.
Your voice, make me feel happy.
Don’t you know, I always catch your steps.
Don’t you know, I always think of you.
Cause You are My princess. My pretty princess…
I love You, My Princess….
~oOo~
“Irfan! Kamu apa-apaan sih? Sengaja ya, mau bikin aku malu di depan semua orang? Ya Tuhan…aku pasti jadi bahan ejekan teman-teman. Belum lagi Para Guru, mereka pasti…”
“Sssstt…! Tenang Putri, aku sudah minta ijin sama Guru dan Teman-teman nggak akan mengejekmu karena mereka mendukung hubungan kita.” Irfan memotong perkataanku yang sangat panik. Setelah dia membawakan lagu untukku, kami berbicara empat mata di taman sekolah. “Mulai sekarang hubungan kita resmi menjadi In a Relationship dan maafkan aku karena belakangan ini sangat sibuk dengan kegiatan basket. Mulai sekarang aku akan lebih perhatian sama kamu.” Irfan menatapku penuh arti. “Hmm, kalau kamu masih nggak percaya sama ucapanku, mungkin kita bisa masuk ke tahap Engaged?
“Irfan…! Kita ini masih sekolah.” tukasku dengan wajah tertunduk. Malu.....
“Haha, baiklah kalau begitu. Kita pacaran dulu ya?” Irfan meraih tanganku dan mengecupnya lembut. “I love you, My princess.”
Aku menatap mata Irfan yang memancarkan kebahagian. “I love you too…”
~The End~