“Pak, tunggu pak!” teriakku menghentikan petugas lift yang hampir saja menutup pintu lift.Petugas yang sudah mengenalku itu, tersenyum dan menungguku yang masih berjarak empat meter dari lift. Beberapa orang di dalam lift memberiku tempat untuk berdiri. Aku bernafas lega ketika sudah berada di dalam lift.“Telat lagi mba?” tanya petugas itu.“Hampir pak, lima menit lagi ada meeting. Saya masih harus siap-siap sebelum meeting.” jawabku sambil merapikan rambut yang agak berantakan karena tertiup angin sewaktu turun dari busway.
/Tring
Pintu lift terbuka di lantai tiga. Aku bergeser ke kiri untuk memberi jalan beberapa orang yang akan keluar dari lift. Sebentar lagi aku juga akan turun. Setelah pintu lift kembali tertutup, aku termenung dengan pikiranku yang sejak tadi terus mengingat materi meeting hari ini. Sebenarnya semua sudah kusiapkan dengan baik, tapi meeting pagi ini membuatku sangat nervous. Ada sesuatu yang___
/Tring
Pintu lift terbuka lagi dan membuyarkan lamunanku.
“Mba, ini sudah lantai enam.” petugas lift mengingatkanku.
Aku keluar dari lift dengan terburu-buru. “Makasih ya pak!” ucapku sebelum pintu lift tertutup seluruhnya. Kemudian aku segera berlari menuju kantorku. Gedung sepuluh lantai tempatku bekerja adalah gedung perkantoran yang terdiri dari beberapa jenis perusahaan. Perusahaan tempatku bekerja berada di lantai enam. Terkadang aku suka bekerja di kantor yang cukup tinggi, karena itu berarti aku dapat melihat city view yang indah. Tapi tidak jarang juga aku merasa kesal, seperti saat ini. Aku harus berlari sekuat tenaga agar tidak terlambat. Nafasku terengah-engah ketika membuka pintu kantor. Semua orang sedang sibuk dengan tugasnya masing-masing.
“Alya! Ditelponin daritadi nggak nyambung-nyambung.” rekan kerjaku langsung meneror aku yang sedang berjalan menuju meja kerja.
Aku meringis pelan, “Sorry...handphone-ku lowbat.”
“Kebiasaan banget deh,” tukas Nindy dan langsung mengulurkan tangan saat aku sudah duduk sambil menarik nafas panjang.
“Apa?” tanyaku bingung.
“Makalah untuk meeting pagi ini Alya....” Nindy menjawab tidak sabaran.
“Oh, iya. Sebentar.” aku segera membuka tas dan mengeluarkan makalah yang semalam suntuk aku susun dengan susah payah.
Nindy segera meraih makalah itu dan membacanya sangat seksama. Dia memang selalu seperti itu, teliti dalam segala hal. Tapi dia adalah orang yang baik dan penyabar. Walaupun posisinya berada di atasku, tapi dia tidak pernah meremehkan aku sebagai bawahan yang nggak becus bekerja. Dia bahkan selalu memberi arahan baik padaku. Perusahaan tempat kami bekerja, bergerak dalam bidang event organizer. Kemampuan bersosialisasi dengan baik, akan sangat diperlukan saat kami menangani suatu acara. Tapi pekerjaanku selalu ‘di balik layar’, jadi aku tidak perlu harus bersikap supel pada semua orang. Ya walaupun pada dasarnya aku memang tipe orang yang sangat pendiam.
“Bagus.” Nindy memujiku dan tersenyum senang. “Yuk, kita ke ruang meeting. Semua orang udah pada ngumpul daritadi.”
/Deg
“Semua orang?” tanyaku ragu.
“Iya...se-mua-nya! Aku belum masuk karena nungguin kamu dan ini.” jawab Nindy sambil mengacungkan makalah buatanku.
“O...ke.” ucapku pelan dan berdiri kikuk. Untungnya ruanganku dikelilingi banyak jendela kaca, jadi aku masih sempat untuk mematut diri di depan kaca walaupun hanya bayangan samar.
***
“Event kali ini kita akan dapat banyak sponsor. Berkat portofolio event yang lalu, sekarang mulai banyak sponsor yang menaruh perhatian pada hasil kerja keras kita semua. Kalian adalah tim yang hebat. Saya harap, event minggu depan akan berjalan dengan baik dan melampaui kesuksesan event sebelumnya.”
Aku mengangguk pelan dan mengetik beberapa bahasan meeting di laptop. Bosku baru saja menutup meeting. Aku sangat fokus menyimak meeting ini, bahkan tatapanku tidak pernah beralih dari laptop. Selain karena aku yang mengarahkan materi dari laptop ke layar proyektor, aku juga tidak berani membiarkan mataku melihat ke sekeliling ruangan. Dia hadir juga dalam meeting kali ini. Itu berarti, kami akan memakai jasanya lagi sebagaifotografer untuk dokumentasi event. Entah sudah berapa kali dia bekerja sama dengan EO tempatku bekerja. Tapi aku tidak pernah sekalipun bertegur sapa dengannya. Dia...selalu membuat detak jantungku tidak karuan. Oleh karena itulah aku berusaha untuk menghindar darinya. Berbanding terbalik dengan semua temanku yang berusaha untuk selalu berada dekat dengannya. Termasuk Nindy.
***
Aku mengenalnya beberapa bulan yang lalu. Dia adalah fotografer dadakan yang menggantikan fotografer kami karena tiba-tiba saja berhalangan hadir pada hari-H. Semua orang langsung akrab dengannya karena dia tipe orang yang mudah bergaul. Dalam sehari saja, teman-temanku langsung tahu segala hal tentangnya. Hanya aku satu-satunya orang yang tidak berakrab-ria dengannya. Jangankan sekedar senyum basa-basi, memanggil namanya saja aku tidak pernah. Tapi pernah suatu ketika, aku berbicara padanya karena harus menyerahkan naskah acara. Saat itu aku merasa sangat kaku dan hanya berkata “Ini naskah acaranya.”
Sepertinya dia pun tidak suka pada sikapku yang kaku, karena waktu itu dia juga tidak berkata apa-apa. Kepalanya mengangguk pelan, tapi tatapannya tertuju tepat pada kedua mataku. Sikapnya membuatku takut untuk berada dekat dengannya, dan aku segera bergerak ke tempat yang tidak terjangkau oleh penglihatannya.
Walaupun aku selalu tidak nyaman berada didekatnya, aku berusaha untuk bersikap biasa saja di depan teman-temanku. Mereka mungkin memaklumi sikapku yang agak pendiam. Selain itu, aku juga harus bekerja secara profesional. Tidak boleh mencampurkan urusan pribadi dengan pekerjaan. Kerjasama tim adalah kunci utama untuk keberhasilan suatu acara.
***
Seminggu kemudian...
Kami semua sangat sibuk mempersiapkan pembukaan acara yang akan digelar pada sebuah pameran elektronik di salah satu Mall kawasan Jakarta Pusat. Aku sudah berada di lokasi acara sejak pukul tujuh pagi. Kondisi badanku sangat tidakfit. Selain karena aku sering lembur selama beberapa hari terakhir, jadwal makanku juga tidak teratur. Kepalaku terasa berat sekali saat bangun pagi tadi, tapi aku berusaha sekuat tenaga untuk beranjak dari tempat tidur dan bersiap ke lokasi acara dengan setumpuk berkas penting.
Di sinilah aku pagi ini, menikmati sarapan kilat yang aku beli di salah satu coffee shop dekat Mall. Aku duduk di ruang panitia sambil mengecek susunan acara, dan memastikan semua peralatan yang dibutuhkan sudah tiba. Nindy sedang sibuk mengatur banyak orang, dia bahkan hampir tidak menoleh ke arahku sedikitpun. Semua sepertinya sangat___
“Kamu pucat.”
Kepalaku segera menoleh karena mendengar suara asing yang tiba-tiba saja menyela pikiranku. Tubuhku sedikit tersentak karena melihat siapa orang yang berada di hadapanku. Sejak kapan dia ada di sana?
“Dan sekarang semakin pucat....” lanjutnya sambil tersenyum, tapi ada sedikit rona kekhawatiran di wajahnya.
Aku berdehem dan menggerakan jemariku yang mendadak kaku. "Hm, aku nggak apa-apa. Cuma...agak ngantuk.” kataku sambil kembali fokus pada berkas yang berada di atas meja. Aku menduduk karena tidak berani bertatap mata dengannya.
“Kamu selalu seperti ini?” Dia bertanya pelan.
Aku bingung dengan pertanyaannya. Jadi aku terpaksa....kembali menatapnya. “Apa?”
Dia menghela nafas dan maju selangkah mendekatiku. “Mengabaikan orang yang berbicara padamu?”
Oh! Aku tersentak lagi. “Maaf. Aku...nggak bermaksud kayak gitu. Aku cuma...lagi sibuk.” kalimatku terdengar sangat tidak meyakinkan. Tapi anehnya dia malah tersenyum. Mengerti.
Dia memandang kamera DSLR yang ada di tangannya, memperhatikan layarnya sebentar dan kembali menatapku. “Kayaknya kamu mau flu. Nanti jam sepuluh, minum orange juice.” ucapnya sambil tetap tersenyum padaku.
Aku mengernyitkan kening. Tidak mengerti.
“Oke, have nice work...Alya.” katanya lagi sambil melambai padaku dan berjalan menuju depan stage. Meninggalkan aku yang kembali membeku karena dia baru saja menyebut namaku.
***
Acara sudah dimulai. Aku mulai stress. Hiruk pikuk pengunjung Mall membuatku harus ekstra hati-hati. Sepertinya pikiranku mulai tidak fokus, tenggorokanku pun terasa tidak enak. Mungkin aku terkena radang tenggorokan...atau flu. FLU?! Tiba-tiba aku teringat sesuatu. Sekarang pukul sepuluh lebih sepuluh menit. Dan sepertinya aku memang flu. Kenapa dugaannya bisa tepat? Aku mengedarkan pandanganku dan mencari sosoknya. Dia sedang berada di depan stage, mengabadikan moment-moment pembukaan acara. Tenggorokanku semakin tidak enak, aku harus minum orange juice atau sesuatu yang mengandung vitamin C.
***
Setelah break makan siang, acara kembali dilanjutkan. Aku hanya menghabiskan sepertiga dari isi box makan siangku. Kepalaku semakin pusing, untungnya Nindy tidak terlalu banyak menyuruhku ini-itu, karena sepertinya dia sadar aku kurang sehat. Sekarang tidak hanya kepala dan tenggorokanku yang bermasalah. Suhu tubuhku juga mulai bermasalah. Tadi pagi aku merasa sangat kedinginan sampai tidak berani untuk menanggalkan sweater-ku. Namun sekarang berbanding seratus delapan puluh derajat. Suhu tubuhku sepertinya meluncur melewati batas normal. Telapak tanganku sangat lembab, dan aku berkeringat sekali. Aku pasti demam. Parah.
***
Menjelang sore, acara masih berlangsung. Aku sudah beberapa kali bolak-balik ke toliet karena perutku terasa mual. Dua jam lagi acara akan berakhir, aku berusaha sekuat tenaga untuk bertahan. Dengan menyandar di salah satu sudut dinding Mall, aku memperhatikan MC yang meneriakkan yel-yel pada peserta undian. Pandangan mataku tiba-tiba berubah haluan karena dia baru saja melintas di sudut pandangku. Fokusku beralih padanya yang berjalan selangkah demi selangkah, di depan stage. Jarakku dari stage sekitar sepuluh meter, tapi aku masih bisa melihat sosoknya dengan jelas. Dia masih sibuk dengan kameranya. Aku pun bergerak dan berjalan mengitari area di sekitar stage, sambil tetap menjaga jarak tapi fokus pandanganku tetap tertuju padanya. Sejak kapan dia kelihatan sangat menarik bagiku? Sejak pertama kali aku bertemu dengannya. Sejak kapan dia membuat jantungku berdebar-debar tidak karuan? Sejak pertama kali aku bertemu dengannya. Sejak kapan dia memandangku sambil tersenyum seperti ini? Sejak___APA?! Langkahku terhenti. Jantungku berdetak tidak normal. Aku membeku. Dia sedang menatapku! Dan aku ketahuan sedang memperhatikannya! Benar-benar sangat memalukan.
Aku membeku. Kakiku tidak bisa bergerak.
“Ah." aku meringis ketika seorang pengunjung menyenggol tubuhku yang berdiri kaku di tengah keramaian Mall. Aku buru-buru menunduk dan berjalan secepat yang aku bisa. Tapi tiba-tiba, tubuhku goyah dan pandangan mataku mulai kabur. Gelap-terang-gelap-terang, dan akhirnya gelap seluruhnya.
***
Aku membuka mataku dan seberkas cahaya menyilaukan menerpa penglihatanku. Terang sekali di sini. Aku mengangkat tangan dan menutupi cahaya silau itu.
“Jangan bergerak dulu. Tanganmu dipasang infus.” sebuah suara mengagetkanku.
Mataku masih mengerjap dan mencari asal suara itu. Dia berada tepat di sebelah kiri tempat tidur. Tempat tidur? Seketika aku panik karena baru menyadari aku sedang terbaring di tempat tidur dan ini bukan rumahku.
“Kamu di rumah sakit. Tadi kamu pingsan. Kata dokter, demammu sangat tinggi dan semakin parah karena kamu kelelahan.”
Mataku samar-samar mulai menangkap bayangan pria yang duduk di samping tempat tidur. “A....” mulutku sudah terbuka untuk mengucapkan sesuatu, tapi tidak bisa. Tenggorokanku agak nyeri.
“Dan flu membuatmu terkena radang tenggorokan.” ucapnya sambil berdiri dan mengambil segelas air untukku. “Kayaknya, aku harus membantumu untuk menyandar.”
“A...." aku hendak menolak, tapi kemudian mengangguk dan membiarkannya meraih punggungku. Dia menahan tubuhku sebentar, lalu mengambil bantal dan menyandarkannya di belakang tubuhku. Dengan ragu, aku pun menyandar secara perlahan.
“Minumlah,” katanya sambil menyodorkan gelas dan membantuku untuk minum. “Demammu sudah agak turun. Tapi tekanan darahmu masih rendah, makanya dokter memasang infus. Kepalamu masih pusing?”
Aku menyudahi minumku dan mengangguk pelan. Pandanganku beredar ke sekeliling kamar rawat dan mencari sosok jam dinding. Tapi tidak ada. Lalu aku melirik pergelangan tangannya. Dan sepertinya dia mengerti.
“Kamu sudah tidur selama...empat jam tiga puluh lima menit.”
“Empat?” tanyaku dengan suara serak yang pelan.
Dia tersenyum lagi. “Ya, kamu sudah tidur cukup lama. Dan jangan khawatir. Aku tidak meninggalkanmu sedetikpun. Aku terus menungguimu, sampai kamu terbangun lima menit yang lalu.”
“Menunggu?” aku semakin merasa bodoh karena terus bertanya hanya dengan satu kata.
“Ya, tadi waktu aku melihatmu pingsan. Aku sangat panik dan segera membawamu ke rumah sakit. Tubuhmu panas sekali, wajahmu pucat. Tapi___”
“Maksudmu, aku pingsan di Mall dan kamu membawaku ke sini? Tapi bukannya empat jam yang lalu, acara masih berlangsung?” aku memijat pelipis dengan tangan kananku yang tidak dipasang infus. Suaraku mulai pulih dan ingatanku pun mulai muncul dalam kepingan berantakan. “Berarti aku pingsan di Mall, terus acaranya gimana? Bukannya kamu harus___”
“Nindy, dia yang melanjutkan sisa tugasku.” tukasnya sambil kembali duduk di sampingku.
“Oh.” aku kembali bingung. Jadi dia membawaku ke rumah sakit dan menungguku hingga terbangun. Aku ingat kejadian terakhir sebelum aku pingsan. Tadi aku sedang memperhatikannya diam-diam. “Maaf,” ucapku sambil sedikit melirik ke arahnya.
Dia mengerutkan kening. “Maaf untuk apa?”
Aku menghela nafas. “Tadi sore, sebelum aku pingsan...aku sempat memperhatikanmu. Aku tahu sikapku kurang sopan. Tapi tadi itu...aku nggak sengaja....”
“Alya....” dia memotong perkataanku. “Kamu baru sekali memperhatikanku seperti itu dan kamu langsung minta maaf?” tanyanya dengan wajah sedikit jahil. “Kalau gitu, bagaimana denganku yang selalu memperhatikanmu setiap kali kita berada pada satu ruangan yang sama? Itu artinya aku harus meminta maaf padamu...puluhan atau mungkin ratusan kali.”
“A-apa?” aku terkejut mendengar perkataannya. Dia memperhatikan aku?
“Baiklah, aku mengaku salah. Selama ini, aku tidak pernah melepaskan fokus pandanganku darimu. Walaupun, kamu tidak pernah memandangku...seperti aku memandangmu.” jawabnya sambil meraih kamera yang dia letakan di atas meja di samping tempat tidur.
“Aku nggak ngerti. Apa sih maksud perkataanmu tadi?” tanyaku seraya menegakkan badan. Menatap uluran tangannya yang menyodorkan kameranya padaku.
“Lihatlah.”
Aku meraih kamera itu dan menatap layar digital-nya. Di sana terdapat foto seorang gadis yang sedang berjalan menunduk menuju halte Busway. Tidak. Tunggu...itu adalah gambarku?! Aku segera menatapnya. Dia merespon hanya dengan sedikit mengangkat bahunya.
Pandanganku kembali tertuju pada gambar-gambar gadis yang sama. Ya, itu semua gambarku. Semua foto itu diambil secara candid, dia mengambil fotoku dalam setiap gerakan yang aku lakukan. Bahkan gerakan yang sangat tidak penting pun, terlihat sangat menakjubkan dalam kameranya. Ada aku yang sedang mengelus kening karena habis menabrak pintu, menguap karena mengantuk di meja kerja, mengacak-acak tong sampah dekat meja kerjaku karena tidak sengaja membuang berkas penting, dan yang terbaru adalah gambar hari ini. Aku yang berada di Mall tadi pagi, nampak sekali dalam gambar itu aku sedang sakit. Ya, wajahku pucat. Tidak berseri aneh seperti foto yang sebelumnya. Dan masih ada beberapa fotoku yang dia ambil di event hari ini. Aku tertegun dan menatapnya yang tersenyum lemah.
“Kamu boleh marah padaku. Itu sudah menjadi hakmu, karena aku mengambil fotomu tanpa permisi.”
“Apa maksud...semua ini?” tanyaku gugup dan mengembalikan kameranya.
Dia meraih kameranya dan memandangi layarnya. Tidak, bukan memandang layarnya. Tapi memandang foto yang ada di dalamnya. “Aku juga nggak tahu, kenapa aku terus mengambil fotomu. Tapi jika kamu bertanya sejak kapan? Jawabannya adalah sejak pertama kali aku bertemu denganmu. Tingkah lakumu sangat menarik perhatianku dan aku ingin mengabadikan setiap moment itu. Satu kamera ini, hanya tertuju padamu.”
“Kamu aneh.” jawabku seadanya. Tidak, aku yang aneh. Karena sebenarnya dia juga sangat menarik perhatianku saat pertama kali kami bertemu.
Blitz kamera menerpa wajahku.
“Kamu cantik.” ucapnya sambil tersenyum. "Gambar favorite-ku baru saja aku ambil sejam yang lalu." dia memperlihatkan fotoku yang sedang tertidur nyenyak sekali.
“Oh.” aku mengerjap karena wajahnya berada tidak jauh dari wajahku.
“Biar aku simpulkan. Aku jatuh cinta padamu, sejak pertama kali melihatmu.” bisiknya di telingaku.
“Oh.” dan aku merasa sangat bodoh karena sejak tadi hanya berkata ‘Oh...oh...oh.’
“Dan aku pikir, kamu merasakan hal yang sama denganku.” bisiknya lagi.
Jantungku kembali berdetak tidak normal. Apa aku demam lagi? Aku menaruh telapak tanganku dan merasakan suhu tubuhku mulai normal. Aku menoleh padanya dan wajahnya masih berada dekat denganku.
Dia meraih tangan kananku yang tidak dipasang infus dan mengecupnya perlahan.
Aku hampir saja menarik tanganku, tapi anehnya tidak bisa. Jadi, aku membiarkannya menggenggam tanganku dengan sangat erat dan lembut.
“I think...it’s kind of fail in love." aku mengakui apa yang aku rasakan selama ini. "Kita tidak pernah bertegur sapa, dan sikapmu sepertinya selalu berusaha untuk menjauhiku.” jelasku dengan nada gugup.
“Aku harus menjaga jarak darimu...supaya bisa mengambil fotomu. Karena sangat tidak mungkin, jika aku mengambil fotomu dalam jarak dekat.” jelasnya secara perlahan.
“Oh.” lagi-lagi jawabanku sangat memalukan.
“So, here we are.” ucapnya sambil tertawa ringan dan mengelus rambutku dengan sangat lembut.
Untuk pertama kalinya, aku menatap matanya dengan jelas. Ya, aku percaya. Dia memang mencintaiku.
“I love you, Alya.” bisiknya lembut. Sederet kalimat sederhana itu, membuatku terasa begitu hangat. Tapi bagiku, itu bukan kalimat sederhana. Itu adalah kalimat ajaib.
Dia masih menatapku dan menggenggam tanganku. Mataku tertuju pada tautan tangan kami berdua. “I love you too.” balasku pelan.
Dan akhirnya dia memeluk tubuhku dengan sangat perlahan. Mendekapku dengan kehangatan tubuhnya. Aku menyandarkan kepalaku di bahunya dengan mata terpejam. “I love you too, at the first time we met.” bisikku di telinganya.
Dan dia mempererat rangkulannya.
/Tring
Pintu lift terbuka di lantai tiga. Aku bergeser ke kiri untuk memberi jalan beberapa orang yang akan keluar dari lift. Sebentar lagi aku juga akan turun. Setelah pintu lift kembali tertutup, aku termenung dengan pikiranku yang sejak tadi terus mengingat materi meeting hari ini. Sebenarnya semua sudah kusiapkan dengan baik, tapi meeting pagi ini membuatku sangat nervous. Ada sesuatu yang___
/Tring
Pintu lift terbuka lagi dan membuyarkan lamunanku.
“Mba, ini sudah lantai enam.” petugas lift mengingatkanku.
Aku keluar dari lift dengan terburu-buru. “Makasih ya pak!” ucapku sebelum pintu lift tertutup seluruhnya. Kemudian aku segera berlari menuju kantorku. Gedung sepuluh lantai tempatku bekerja adalah gedung perkantoran yang terdiri dari beberapa jenis perusahaan. Perusahaan tempatku bekerja berada di lantai enam. Terkadang aku suka bekerja di kantor yang cukup tinggi, karena itu berarti aku dapat melihat city view yang indah. Tapi tidak jarang juga aku merasa kesal, seperti saat ini. Aku harus berlari sekuat tenaga agar tidak terlambat. Nafasku terengah-engah ketika membuka pintu kantor. Semua orang sedang sibuk dengan tugasnya masing-masing.
“Alya! Ditelponin daritadi nggak nyambung-nyambung.” rekan kerjaku langsung meneror aku yang sedang berjalan menuju meja kerja.
Aku meringis pelan, “Sorry...handphone-ku lowbat.”
“Kebiasaan banget deh,” tukas Nindy dan langsung mengulurkan tangan saat aku sudah duduk sambil menarik nafas panjang.
“Apa?” tanyaku bingung.
“Makalah untuk meeting pagi ini Alya....” Nindy menjawab tidak sabaran.
“Oh, iya. Sebentar.” aku segera membuka tas dan mengeluarkan makalah yang semalam suntuk aku susun dengan susah payah.
Nindy segera meraih makalah itu dan membacanya sangat seksama. Dia memang selalu seperti itu, teliti dalam segala hal. Tapi dia adalah orang yang baik dan penyabar. Walaupun posisinya berada di atasku, tapi dia tidak pernah meremehkan aku sebagai bawahan yang nggak becus bekerja. Dia bahkan selalu memberi arahan baik padaku. Perusahaan tempat kami bekerja, bergerak dalam bidang event organizer. Kemampuan bersosialisasi dengan baik, akan sangat diperlukan saat kami menangani suatu acara. Tapi pekerjaanku selalu ‘di balik layar’, jadi aku tidak perlu harus bersikap supel pada semua orang. Ya walaupun pada dasarnya aku memang tipe orang yang sangat pendiam.
“Bagus.” Nindy memujiku dan tersenyum senang. “Yuk, kita ke ruang meeting. Semua orang udah pada ngumpul daritadi.”
/Deg
“Semua orang?” tanyaku ragu.
“Iya...se-mua-nya! Aku belum masuk karena nungguin kamu dan ini.” jawab Nindy sambil mengacungkan makalah buatanku.
“O...ke.” ucapku pelan dan berdiri kikuk. Untungnya ruanganku dikelilingi banyak jendela kaca, jadi aku masih sempat untuk mematut diri di depan kaca walaupun hanya bayangan samar.
***
“Event kali ini kita akan dapat banyak sponsor. Berkat portofolio event yang lalu, sekarang mulai banyak sponsor yang menaruh perhatian pada hasil kerja keras kita semua. Kalian adalah tim yang hebat. Saya harap, event minggu depan akan berjalan dengan baik dan melampaui kesuksesan event sebelumnya.”
Aku mengangguk pelan dan mengetik beberapa bahasan meeting di laptop. Bosku baru saja menutup meeting. Aku sangat fokus menyimak meeting ini, bahkan tatapanku tidak pernah beralih dari laptop. Selain karena aku yang mengarahkan materi dari laptop ke layar proyektor, aku juga tidak berani membiarkan mataku melihat ke sekeliling ruangan. Dia hadir juga dalam meeting kali ini. Itu berarti, kami akan memakai jasanya lagi sebagaifotografer untuk dokumentasi event. Entah sudah berapa kali dia bekerja sama dengan EO tempatku bekerja. Tapi aku tidak pernah sekalipun bertegur sapa dengannya. Dia...selalu membuat detak jantungku tidak karuan. Oleh karena itulah aku berusaha untuk menghindar darinya. Berbanding terbalik dengan semua temanku yang berusaha untuk selalu berada dekat dengannya. Termasuk Nindy.
***
Aku mengenalnya beberapa bulan yang lalu. Dia adalah fotografer dadakan yang menggantikan fotografer kami karena tiba-tiba saja berhalangan hadir pada hari-H. Semua orang langsung akrab dengannya karena dia tipe orang yang mudah bergaul. Dalam sehari saja, teman-temanku langsung tahu segala hal tentangnya. Hanya aku satu-satunya orang yang tidak berakrab-ria dengannya. Jangankan sekedar senyum basa-basi, memanggil namanya saja aku tidak pernah. Tapi pernah suatu ketika, aku berbicara padanya karena harus menyerahkan naskah acara. Saat itu aku merasa sangat kaku dan hanya berkata “Ini naskah acaranya.”
Sepertinya dia pun tidak suka pada sikapku yang kaku, karena waktu itu dia juga tidak berkata apa-apa. Kepalanya mengangguk pelan, tapi tatapannya tertuju tepat pada kedua mataku. Sikapnya membuatku takut untuk berada dekat dengannya, dan aku segera bergerak ke tempat yang tidak terjangkau oleh penglihatannya.
Walaupun aku selalu tidak nyaman berada didekatnya, aku berusaha untuk bersikap biasa saja di depan teman-temanku. Mereka mungkin memaklumi sikapku yang agak pendiam. Selain itu, aku juga harus bekerja secara profesional. Tidak boleh mencampurkan urusan pribadi dengan pekerjaan. Kerjasama tim adalah kunci utama untuk keberhasilan suatu acara.
***
Seminggu kemudian...
Kami semua sangat sibuk mempersiapkan pembukaan acara yang akan digelar pada sebuah pameran elektronik di salah satu Mall kawasan Jakarta Pusat. Aku sudah berada di lokasi acara sejak pukul tujuh pagi. Kondisi badanku sangat tidakfit. Selain karena aku sering lembur selama beberapa hari terakhir, jadwal makanku juga tidak teratur. Kepalaku terasa berat sekali saat bangun pagi tadi, tapi aku berusaha sekuat tenaga untuk beranjak dari tempat tidur dan bersiap ke lokasi acara dengan setumpuk berkas penting.
Di sinilah aku pagi ini, menikmati sarapan kilat yang aku beli di salah satu coffee shop dekat Mall. Aku duduk di ruang panitia sambil mengecek susunan acara, dan memastikan semua peralatan yang dibutuhkan sudah tiba. Nindy sedang sibuk mengatur banyak orang, dia bahkan hampir tidak menoleh ke arahku sedikitpun. Semua sepertinya sangat___
“Kamu pucat.”
Kepalaku segera menoleh karena mendengar suara asing yang tiba-tiba saja menyela pikiranku. Tubuhku sedikit tersentak karena melihat siapa orang yang berada di hadapanku. Sejak kapan dia ada di sana?
“Dan sekarang semakin pucat....” lanjutnya sambil tersenyum, tapi ada sedikit rona kekhawatiran di wajahnya.
Aku berdehem dan menggerakan jemariku yang mendadak kaku. "Hm, aku nggak apa-apa. Cuma...agak ngantuk.” kataku sambil kembali fokus pada berkas yang berada di atas meja. Aku menduduk karena tidak berani bertatap mata dengannya.
“Kamu selalu seperti ini?” Dia bertanya pelan.
Aku bingung dengan pertanyaannya. Jadi aku terpaksa....kembali menatapnya. “Apa?”
Dia menghela nafas dan maju selangkah mendekatiku. “Mengabaikan orang yang berbicara padamu?”
Oh! Aku tersentak lagi. “Maaf. Aku...nggak bermaksud kayak gitu. Aku cuma...lagi sibuk.” kalimatku terdengar sangat tidak meyakinkan. Tapi anehnya dia malah tersenyum. Mengerti.
Dia memandang kamera DSLR yang ada di tangannya, memperhatikan layarnya sebentar dan kembali menatapku. “Kayaknya kamu mau flu. Nanti jam sepuluh, minum orange juice.” ucapnya sambil tetap tersenyum padaku.
Aku mengernyitkan kening. Tidak mengerti.
“Oke, have nice work...Alya.” katanya lagi sambil melambai padaku dan berjalan menuju depan stage. Meninggalkan aku yang kembali membeku karena dia baru saja menyebut namaku.
***
Acara sudah dimulai. Aku mulai stress. Hiruk pikuk pengunjung Mall membuatku harus ekstra hati-hati. Sepertinya pikiranku mulai tidak fokus, tenggorokanku pun terasa tidak enak. Mungkin aku terkena radang tenggorokan...atau flu. FLU?! Tiba-tiba aku teringat sesuatu. Sekarang pukul sepuluh lebih sepuluh menit. Dan sepertinya aku memang flu. Kenapa dugaannya bisa tepat? Aku mengedarkan pandanganku dan mencari sosoknya. Dia sedang berada di depan stage, mengabadikan moment-moment pembukaan acara. Tenggorokanku semakin tidak enak, aku harus minum orange juice atau sesuatu yang mengandung vitamin C.
***
Setelah break makan siang, acara kembali dilanjutkan. Aku hanya menghabiskan sepertiga dari isi box makan siangku. Kepalaku semakin pusing, untungnya Nindy tidak terlalu banyak menyuruhku ini-itu, karena sepertinya dia sadar aku kurang sehat. Sekarang tidak hanya kepala dan tenggorokanku yang bermasalah. Suhu tubuhku juga mulai bermasalah. Tadi pagi aku merasa sangat kedinginan sampai tidak berani untuk menanggalkan sweater-ku. Namun sekarang berbanding seratus delapan puluh derajat. Suhu tubuhku sepertinya meluncur melewati batas normal. Telapak tanganku sangat lembab, dan aku berkeringat sekali. Aku pasti demam. Parah.
***
Menjelang sore, acara masih berlangsung. Aku sudah beberapa kali bolak-balik ke toliet karena perutku terasa mual. Dua jam lagi acara akan berakhir, aku berusaha sekuat tenaga untuk bertahan. Dengan menyandar di salah satu sudut dinding Mall, aku memperhatikan MC yang meneriakkan yel-yel pada peserta undian. Pandangan mataku tiba-tiba berubah haluan karena dia baru saja melintas di sudut pandangku. Fokusku beralih padanya yang berjalan selangkah demi selangkah, di depan stage. Jarakku dari stage sekitar sepuluh meter, tapi aku masih bisa melihat sosoknya dengan jelas. Dia masih sibuk dengan kameranya. Aku pun bergerak dan berjalan mengitari area di sekitar stage, sambil tetap menjaga jarak tapi fokus pandanganku tetap tertuju padanya. Sejak kapan dia kelihatan sangat menarik bagiku? Sejak pertama kali aku bertemu dengannya. Sejak kapan dia membuat jantungku berdebar-debar tidak karuan? Sejak pertama kali aku bertemu dengannya. Sejak kapan dia memandangku sambil tersenyum seperti ini? Sejak___APA?! Langkahku terhenti. Jantungku berdetak tidak normal. Aku membeku. Dia sedang menatapku! Dan aku ketahuan sedang memperhatikannya! Benar-benar sangat memalukan.
Aku membeku. Kakiku tidak bisa bergerak.
“Ah." aku meringis ketika seorang pengunjung menyenggol tubuhku yang berdiri kaku di tengah keramaian Mall. Aku buru-buru menunduk dan berjalan secepat yang aku bisa. Tapi tiba-tiba, tubuhku goyah dan pandangan mataku mulai kabur. Gelap-terang-gelap-terang, dan akhirnya gelap seluruhnya.
***
Aku membuka mataku dan seberkas cahaya menyilaukan menerpa penglihatanku. Terang sekali di sini. Aku mengangkat tangan dan menutupi cahaya silau itu.
“Jangan bergerak dulu. Tanganmu dipasang infus.” sebuah suara mengagetkanku.
Mataku masih mengerjap dan mencari asal suara itu. Dia berada tepat di sebelah kiri tempat tidur. Tempat tidur? Seketika aku panik karena baru menyadari aku sedang terbaring di tempat tidur dan ini bukan rumahku.
“Kamu di rumah sakit. Tadi kamu pingsan. Kata dokter, demammu sangat tinggi dan semakin parah karena kamu kelelahan.”
Mataku samar-samar mulai menangkap bayangan pria yang duduk di samping tempat tidur. “A....” mulutku sudah terbuka untuk mengucapkan sesuatu, tapi tidak bisa. Tenggorokanku agak nyeri.
“Dan flu membuatmu terkena radang tenggorokan.” ucapnya sambil berdiri dan mengambil segelas air untukku. “Kayaknya, aku harus membantumu untuk menyandar.”
“A...." aku hendak menolak, tapi kemudian mengangguk dan membiarkannya meraih punggungku. Dia menahan tubuhku sebentar, lalu mengambil bantal dan menyandarkannya di belakang tubuhku. Dengan ragu, aku pun menyandar secara perlahan.
“Minumlah,” katanya sambil menyodorkan gelas dan membantuku untuk minum. “Demammu sudah agak turun. Tapi tekanan darahmu masih rendah, makanya dokter memasang infus. Kepalamu masih pusing?”
Aku menyudahi minumku dan mengangguk pelan. Pandanganku beredar ke sekeliling kamar rawat dan mencari sosok jam dinding. Tapi tidak ada. Lalu aku melirik pergelangan tangannya. Dan sepertinya dia mengerti.
“Kamu sudah tidur selama...empat jam tiga puluh lima menit.”
“Empat?” tanyaku dengan suara serak yang pelan.
Dia tersenyum lagi. “Ya, kamu sudah tidur cukup lama. Dan jangan khawatir. Aku tidak meninggalkanmu sedetikpun. Aku terus menungguimu, sampai kamu terbangun lima menit yang lalu.”
“Menunggu?” aku semakin merasa bodoh karena terus bertanya hanya dengan satu kata.
“Ya, tadi waktu aku melihatmu pingsan. Aku sangat panik dan segera membawamu ke rumah sakit. Tubuhmu panas sekali, wajahmu pucat. Tapi___”
“Maksudmu, aku pingsan di Mall dan kamu membawaku ke sini? Tapi bukannya empat jam yang lalu, acara masih berlangsung?” aku memijat pelipis dengan tangan kananku yang tidak dipasang infus. Suaraku mulai pulih dan ingatanku pun mulai muncul dalam kepingan berantakan. “Berarti aku pingsan di Mall, terus acaranya gimana? Bukannya kamu harus___”
“Nindy, dia yang melanjutkan sisa tugasku.” tukasnya sambil kembali duduk di sampingku.
“Oh.” aku kembali bingung. Jadi dia membawaku ke rumah sakit dan menungguku hingga terbangun. Aku ingat kejadian terakhir sebelum aku pingsan. Tadi aku sedang memperhatikannya diam-diam. “Maaf,” ucapku sambil sedikit melirik ke arahnya.
Dia mengerutkan kening. “Maaf untuk apa?”
Aku menghela nafas. “Tadi sore, sebelum aku pingsan...aku sempat memperhatikanmu. Aku tahu sikapku kurang sopan. Tapi tadi itu...aku nggak sengaja....”
“Alya....” dia memotong perkataanku. “Kamu baru sekali memperhatikanku seperti itu dan kamu langsung minta maaf?” tanyanya dengan wajah sedikit jahil. “Kalau gitu, bagaimana denganku yang selalu memperhatikanmu setiap kali kita berada pada satu ruangan yang sama? Itu artinya aku harus meminta maaf padamu...puluhan atau mungkin ratusan kali.”
“A-apa?” aku terkejut mendengar perkataannya. Dia memperhatikan aku?
“Baiklah, aku mengaku salah. Selama ini, aku tidak pernah melepaskan fokus pandanganku darimu. Walaupun, kamu tidak pernah memandangku...seperti aku memandangmu.” jawabnya sambil meraih kamera yang dia letakan di atas meja di samping tempat tidur.
“Aku nggak ngerti. Apa sih maksud perkataanmu tadi?” tanyaku seraya menegakkan badan. Menatap uluran tangannya yang menyodorkan kameranya padaku.
“Lihatlah.”
Aku meraih kamera itu dan menatap layar digital-nya. Di sana terdapat foto seorang gadis yang sedang berjalan menunduk menuju halte Busway. Tidak. Tunggu...itu adalah gambarku?! Aku segera menatapnya. Dia merespon hanya dengan sedikit mengangkat bahunya.
Pandanganku kembali tertuju pada gambar-gambar gadis yang sama. Ya, itu semua gambarku. Semua foto itu diambil secara candid, dia mengambil fotoku dalam setiap gerakan yang aku lakukan. Bahkan gerakan yang sangat tidak penting pun, terlihat sangat menakjubkan dalam kameranya. Ada aku yang sedang mengelus kening karena habis menabrak pintu, menguap karena mengantuk di meja kerja, mengacak-acak tong sampah dekat meja kerjaku karena tidak sengaja membuang berkas penting, dan yang terbaru adalah gambar hari ini. Aku yang berada di Mall tadi pagi, nampak sekali dalam gambar itu aku sedang sakit. Ya, wajahku pucat. Tidak berseri aneh seperti foto yang sebelumnya. Dan masih ada beberapa fotoku yang dia ambil di event hari ini. Aku tertegun dan menatapnya yang tersenyum lemah.
“Kamu boleh marah padaku. Itu sudah menjadi hakmu, karena aku mengambil fotomu tanpa permisi.”
“Apa maksud...semua ini?” tanyaku gugup dan mengembalikan kameranya.
Dia meraih kameranya dan memandangi layarnya. Tidak, bukan memandang layarnya. Tapi memandang foto yang ada di dalamnya. “Aku juga nggak tahu, kenapa aku terus mengambil fotomu. Tapi jika kamu bertanya sejak kapan? Jawabannya adalah sejak pertama kali aku bertemu denganmu. Tingkah lakumu sangat menarik perhatianku dan aku ingin mengabadikan setiap moment itu. Satu kamera ini, hanya tertuju padamu.”
“Kamu aneh.” jawabku seadanya. Tidak, aku yang aneh. Karena sebenarnya dia juga sangat menarik perhatianku saat pertama kali kami bertemu.
Blitz kamera menerpa wajahku.
“Kamu cantik.” ucapnya sambil tersenyum. "Gambar favorite-ku baru saja aku ambil sejam yang lalu." dia memperlihatkan fotoku yang sedang tertidur nyenyak sekali.
“Oh.” aku mengerjap karena wajahnya berada tidak jauh dari wajahku.
“Biar aku simpulkan. Aku jatuh cinta padamu, sejak pertama kali melihatmu.” bisiknya di telingaku.
“Oh.” dan aku merasa sangat bodoh karena sejak tadi hanya berkata ‘Oh...oh...oh.’
“Dan aku pikir, kamu merasakan hal yang sama denganku.” bisiknya lagi.
Jantungku kembali berdetak tidak normal. Apa aku demam lagi? Aku menaruh telapak tanganku dan merasakan suhu tubuhku mulai normal. Aku menoleh padanya dan wajahnya masih berada dekat denganku.
Dia meraih tangan kananku yang tidak dipasang infus dan mengecupnya perlahan.
Aku hampir saja menarik tanganku, tapi anehnya tidak bisa. Jadi, aku membiarkannya menggenggam tanganku dengan sangat erat dan lembut.
“I think...it’s kind of fail in love." aku mengakui apa yang aku rasakan selama ini. "Kita tidak pernah bertegur sapa, dan sikapmu sepertinya selalu berusaha untuk menjauhiku.” jelasku dengan nada gugup.
“Aku harus menjaga jarak darimu...supaya bisa mengambil fotomu. Karena sangat tidak mungkin, jika aku mengambil fotomu dalam jarak dekat.” jelasnya secara perlahan.
“Oh.” lagi-lagi jawabanku sangat memalukan.
“So, here we are.” ucapnya sambil tertawa ringan dan mengelus rambutku dengan sangat lembut.
Untuk pertama kalinya, aku menatap matanya dengan jelas. Ya, aku percaya. Dia memang mencintaiku.
“I love you, Alya.” bisiknya lembut. Sederet kalimat sederhana itu, membuatku terasa begitu hangat. Tapi bagiku, itu bukan kalimat sederhana. Itu adalah kalimat ajaib.
Dia masih menatapku dan menggenggam tanganku. Mataku tertuju pada tautan tangan kami berdua. “I love you too.” balasku pelan.
Dan akhirnya dia memeluk tubuhku dengan sangat perlahan. Mendekapku dengan kehangatan tubuhnya. Aku menyandarkan kepalaku di bahunya dengan mata terpejam. “I love you too, at the first time we met.” bisikku di telinganya.
Dan dia mempererat rangkulannya.