Sebuah sub-story dari novelku.
Tercipta karena terinspirasi dari sebuah karya indah Yiruma – He knows my name.
Dua hari lalu, tengah malam, tiba-tiba aku mengetik sesuatu yang entah kenapa hampir jadi sebuah cerpen. Ah, aku pikir....mereka layak untuk dibuatkan sebuah novel. Tapi... Kapan-kapan...
Hmmm, aku selalu merasa canggung kalau harus menggunakan POV 1. Ini adalah latihan yang kesekian....
Tercipta karena terinspirasi dari sebuah karya indah Yiruma – He knows my name.
Dua hari lalu, tengah malam, tiba-tiba aku mengetik sesuatu yang entah kenapa hampir jadi sebuah cerpen. Ah, aku pikir....mereka layak untuk dibuatkan sebuah novel. Tapi... Kapan-kapan...
Hmmm, aku selalu merasa canggung kalau harus menggunakan POV 1. Ini adalah latihan yang kesekian....
“He knows my name.”
Sore itu hujan deras. Aku hampir basah kuyup ketika berlari keluar dari kampus, menuju halte bus. Sambil mengelap rambutku yang mulai lembab oleh siraman hujan, aku memperhatikan keadaan di sekitarku. Sepi. Hanya ada aku seorang diri di halte bus, dan menunggu bus yang lewat, dengan sedikit keberuntungan. Sekarang sudah masuk jam pulang kerja, aku harus ekstra sabar menunggu bus yang masih bisa kutumpangi, dan tentunya akan semakin sabar lagi jika bus yang aku naiki penuh sesak.
Keberuntunganku belum muncul. Sudah setengah jam aku duduk di bangku halte, dan belum ada satupun bus yang mengarah ke rumahku. Aku mulai tidak nyaman, karena bajuku semakin lembab. Mamaku pasti khawatir kalau aku pulang telat, belum lagi adikku yang bawel karena mengira kakaknya main kemana-mana setelah pulang kuliah. Alicka, adikku satu-satunya, dia adalah anak yang manja. Aku dan Mamaku memang agak memanjakan dirinya, karena sejak lahir, Alicka tidak pernah mengenal sosok papa.
Pikiranku mulai kalut, ketika ingatan masa lalu kami kembali bermunculan. Aku berumur lima tahun ketika papaku pergi meninggalkan kami. Pergi untuk menjalani hidup bersama wanita lain. Meninggalkan mamaku, yang selalu setia pada Papa. Meninggalkan aku dan adikku yang masih bayi. Aku sedih ketika mengingat hal itu. Tapi aku selalu berusaha untuk tegar, sama seperti mamaku. Kami berdua selalu berbagi rasa, dan ketika aku semakin beranjak dewasa, aku semakin mirip dengan mamaku. Sikapku selalu mendahulukan kepentingan adikku. Alicka, sejak masih kecil selalu merengek bahkan menangis ketika dia memperhatikan teman-teman kecilnya yang mempunyai sosok papa. Sedang Alicka, bermain hanya dengan teman sebayanya saja. Tidak pernah merasakan hangatnya punggung seorang papa, atau tidak pernah digenggam erat saat merasa takut. Alicka selalu rindu mendapat kasih sayang dari seorang papa. Kami berusaha untuk memberinya kasih sayang berlimpah, supaya Alicka tidak merasa kesepian dan kekurangan.
"Rambutmu basah.”
Aku menghentikan lamunanku saat mendengar sebuah suara asing yang menerobos masuk ke dalam pikiranku. Tatapanku mulai waspada, dan mencari asal suara. Di sanalah dia berdiri, seorang pria muda yang aku tebak, usianya tidak beda jauh denganku. Dan aku tidak mengenalnya, tapi sekarang dia sedang tersenyum padaku. Mau tidak mau, aku balas tersenyum.
“Rambutmu basah.” Dia mengulangi lagi perkataannya.
Aku membelai rambutku secara asal, menyisirnya dengan jari dan merasakan tanganku basah. Oh, tidak. Rambutku terlalu basah. Aku pikir tadi hanya lembab. Mungkin aku akan pusing dalam beberapa jam ke depan.
“Kenapa diam aja?” dia bertanya padaku dengan raut wajah khawatir.
Aku mengerutkan kening. Dia terlihat khawatir padaku? Mungkin hanya perasaanku saja. “Ya, rambutku basah. Aku lagi berpikir, mungkin aku akan pusing dalam beberapa jam ke depan.” kataku asal. Menyuarakan pikiranku.
“Kenapa ada di sini?” tanyanya masih dengan raut wajah khawatir.
Aku tersenyum. “Kamu sendiri, kenapa ada di sini?” pertanyaanku berhasil membuat wajahnya terlihat lebih ceria.
“Sama denganmu. Sedang menunggu bus. Sayangnya, sore ini aku kurang beruntung. Dosen datang telat, pulang kehujanan, dan belum ada bus yang lewat.” Dia berkata santai, dan aku terlihat sedikit mengerjap beberapa kali saat mendengar perkataannya. Apa yang dikatakannya sama persis dengan yang aku alami.
“Kamu bisa membaca pikiran?” tanyaku serius.
Keningnya terlihat berkerut. Bingung dan merasa lucu karena mendengar pertanyaanku yang aneh. Dia sepertinya sedang berpikir untuk memberiku jawaban yang pas. “Kalau aku bisa membaca pikiran, mungkin sudah sejak dulu aku membaca pikiran wanita yang secara diam-diam aku sukai. Biar aku tahu, apa pernah dia melihat ke arahku, atau apakah dia tahu namaku?”
Aku tertawa. Sungguh aku merasa lucu dengan leluconnya. Dia pintar sekali menceritakan lelucon. “Aku pikir, kalau semua pikiran orang bisa dibaca, kita nggak pernah bercakap-cakap seperti ini. Aku mungkin, nggak pernah mendengar suaramu, dan dunia ini mendadak sunyi.”
Dia terlihat membeku. Apa dia tidak mengerti jawabanku? Sepertinya memang begitu. Karena yang sekarang terjadi adalah, dia duduk di sampingku. “Kenapa? Kenapa kita nggak akan bercakap-cakap seperti ini?” dia bertanya padaku dengan wajahnya yang agak terlihat....sedih? kenapa?
Aku berdehem karena terlalu jelas melihat ekspresi terluka di wajahnya. “Karena, jika semua orang bisa membaca pikiran, mereka tidak perlu bertanya untuk menanyakan sesuatu hal. Cukup dengan membaca pikiran saja. Apalagi, jika semua suara-suara dalam pikiran orang bisa kita dengar, dunia akan terasa sangat bising sekali. Jadi lebih baik, tidak ada suara apapun. Selain menyuarakannya melalui pikiran.”
Penjelasanku sepertinya hampir mirip dengan rumus kimia, karena sekarang dia malah terlihat bingung. “Kalau memang begitu dugaanmu, berarti aku lebih baik tidak bisa membaca pikiranmu, dan aku lebih suka jika kita bercakap-cakap seperti ini.”
Oh...tidak. Aku yakin sekali kalau perkataannya bukan lelucon. Siapa sih pria ini? Aku merasa tidak mengenalnya. Tentu saja, aku tidak mengenalnya. Aku bahkan tidak mengenal separuh dari teman kuliahku. Aku hampir mengatakan sesuatu lagi, ketika mataku menangkap sebuah bus sedang melaju ke arah halte. Itu bus yang melewati rumahku. Aku segera berdiri, dan merapikan sikapku yang agak canggung karena terus diperhatikan olehnya. “Keberuntunganku sudah datang. Maaf aku harus meninggalkanmu di teritorial yang sangat sepi ini.” Aku memasang senyum terbaikku, dan bersiap untuk menghentikan bus yang sangat lamban jalannya.
“Keberuntunganku juga sudah di depan mata.” ucapnya sambil tersenyum.
“Oh, ya?” aku bingung, karena satu-satunya kendaraan yang akan lewat hanya bus yang sudah semakin dekat. “Rumah kita satu arah?”
Dia menggeleng, lalu menjulurkan tangan dan menghentikan bus yang akan aku naiki. “Kamu, adalah keberuntunganku hari ini.”
Aku mendadak linglung. Bus sudah berhenti di depan kami. Dia pintar sekali membuat lelucon, sepertinya wajahku mulai merona...
Kondektur berteriak tidak sabar, aku mendekati bus, lalu menoleh lagi pada...pada pria itu. Siapa namanya? Kami bahkan belum saling berkenalan...
“Naik Maia, dan hati-hati di jalan.”
Perkataannya membuat hatiku mencelos, dan aku berusaha untuk tidak meleleh. Kakiku tanpa sadar, melangkah naik ke dalam bus. Aku terus memandanginya, dan dia terlihat melambai padaku. Bus sudah mulai berjalan kembali. Dia masih terus berdiri di halte dan memandangi bus yang aku tumpangi. Semakin lama, sosoknya semakin hilang ketika bus sudah semakin menjauh. Dia tahu namaku....dia tahu namaku...dan aku tidak tahu namanya.
Oh, Tuhan, apa benar dugaanku? Kalau dia bisa membaca pikiran. Siapa dia?
***